Fatimah binti Muhammad: Putri Nabi dan Wanita Terbaik di Dunia

  


Penulis: Yuyun Asymiawati

Banyak perempuan hari ini mencari panutan, sosok yang kuat tapi tetap lembut, tangguh tapi tetap bersahaja. Di antara nama-nama besar dalam sejarah, Fatimah binti Muhammad berdiri tegak sebagai simbol kesalehan, kesetiaan, dan kemuliaan yang tak lekang oleh zaman. Ia bukan hanya sekadar anak dari Nabi besar, tapi juga seorang wanita luar biasa yang pantas dijadikan teladan, tak hanya bagi perempuan, tapi juga bagi siapa pun yang ingin menapaki jalan kebenaran.

1. Biografi Fatimah binti Muhammad

Fatimah binti Muhammad adalah putri bungsu Rasulullah ﷺ dari istri pertama beliau, Khadijah binti Khuwailid. Ia lahir di Makkah sekitar lima tahun sebelum kenabian, atau sekitar tahun 605 M. Nama lengkapnya adalah Fatimah az-Zahra, yang berarti "Fatimah sang Bercahaya". Ia dikenal sebagai anak yang sangat dekat dengan ayahnya, penuh kasih sayang, dan memiliki kepribadian yang kuat serta akhlak yang luhur.

Fatimah tumbuh dalam rumah yang penuh berkah. Ayahnya adalah Rasul terakhir, pembawa risalah Islam, dan ibunya adalah perempuan agung yang menjadi pelindung pertama dakwah Islam. Sejak kecil, Fatimah sudah terbiasa menyaksikan tekanan yang dihadapi orang tuanya, dan dari situlah ia belajar sabar dan kokoh dalam keimanan.

Saudara-Saudara Fatimah

Fatimah memiliki beberapa saudara kandung, meskipun sebagian besar meninggal dunia saat masih kecil:

  1. Qasim bin Muhammad
    Anak laki-laki pertama Rasulullah dan Khadijah. Ia meninggal saat masih kecil. Karena Qasim-lah, Nabi mendapat gelar Abul Qasim.

  2. Zainab binti Muhammad
    Putri sulung Nabi ﷺ. Ia menikah dengan Abul Ash bin Rabi’, seorang Quraisy yang awalnya belum masuk Islam namun sangat mencintainya. Zainab wafat pada tahun ke-8 Hijriyah.

  3. Ruqayyah binti Muhammad
    Menikah dengan Utsman bin Affan. Ia wafat saat Nabi sedang menghadapi Perang Badar.

  4. Ummu Kultsum binti Muhammad
    Setelah Ruqayyah wafat, Ummu Kultsum dinikahi oleh Utsman bin Affan. Karena itulah Utsman dikenal sebagai Dzun Nurain (pemilik dua cahaya). Ummu Kultsum wafat di Madinah.

  5. Abdullah bin Muhammad (juga dikenal sebagai Ath-Thayyib dan Ath-Thahir)
    Seperti Qasim, ia meninggal saat masih bayi.

Dari semua anak Rasulullah ﷺ, hanya Fatimah yang hidup paling lama setelah wafatnya Nabi. Ia menjadi satu-satunya keturunan beliau yang menurunkan nasab Rasulullah melalui pernikahannya dengan Ali bin Abi Thalib, sepupu Nabi.

2. Masa Kecil Fatimah: Tumbuh dalam Rumah Penuh Cahaya dan Ujian

Fatimah tumbuh dalam pelukan ibunya, Khadijah, seorang perempuan mulia yang dikenal kaya raya, cerdas, dan paling pertama beriman pada kenabian Muhammad ﷺ. Di balik kekayaan itu, rumah mereka tidak pernah jauh dari ujian. Sebab sejak ayahnya diangkat sebagai Rasul, badai cobaan datang silih berganti, boikot ekonomi, pengucilan sosial, hingga ancaman kekerasan fisik.

Sebagai anak bungsu, Fatimah tidak menikmati masa kecil seperti kebanyakan anak-anak Makkah. Ia tidak bermain di halaman bersama teman sebaya. Sebaliknya, ia lebih sering membantu ibunya merawat ayahnya yang pulang dalam keadaan memar, lelah, atau penuh debu akibat dihina di jalanan Quraisy. Fatimah menyaksikan semua itu dengan mata kecilnya yang mulai paham: menjadi keluarga Rasul bukan berarti penuh kehormatan dunia, tapi penuh pengorbanan.

Khadijah adalah pelindung utama rumah itu. Setiap luka yang dibawa Muhammad ﷺ disambutnya dengan senyum, setiap ketakutan Fatimah ditenangkan dengan dekapan. Dari ibunya, Fatimah belajar bagaimana menjadi perempuan kuat tapi lembut, tangguh namun penuh kasih. Suasana rumah mereka mungkin penuh ancaman dari luar, tapi selalu hangat di dalam, karena cinta dan iman.

Sayangnya, masa-masa itu tidak berlangsung lama.

Pada tahun ke-10 kenabian, Khadijah wafat. Usia Fatimah saat itu sekitar 15 tahun. Dunia Fatimah seperti runtuh. Ia kehilangan satu-satunya pelindung perempuan dalam hidupnya. Sejak saat itu, ia semakin menempel pada ayahnya. Bahkan sebagian ulama menyebut: Fatimah bukan sekadar anak, tapi juga ummu abiha, "ibu bagi ayahnya", karena ia menggantikan peran Khadijah dalam menghibur, menyemangati, dan merawat Rasul.

3. Dalam Asuhan Saudah: Fatimah yang Tak Lagi Kecil

Wafatnya Khadijah adalah duka yang sangat dalam bagi keluarga kecil Rasulullah ﷺ. Tidak hanya bagi Nabi yang kehilangan belahan jiwanya, tapi juga bagi Fatimah, gadis remaja yang kehilangan satu-satunya tempat berpulang di dunia. Tak ada lagi tangan lembut ibunya yang menyeka air mata, tak ada lagi pelukan hangat yang menguatkan tiap kali rasa takut menghampiri.

Di tengah duka itu, Rasulullah ﷺ menikahi Saudah binti Zam’ah, seorang janda tangguh yang dikenal berhati luas dan penuh kasih. Ia bukan sekadar menjadi istri Nabi, tapi juga menjadi sosok ibu bagi anak-anak beliau, termasuk Fatimah.

Saudah bukan Khadijah. Tapi ia mencintai Fatimah dengan tulus. Ia merawat gadis itu dengan kesabaran, membimbingnya melewati fase kehilangan, dan mengajarkan Fatimah untuk berdiri kembali dengan keimanan. Dalam rumah itu, Fatimah belajar bahwa cinta tidak selalu hadir dalam bentuk yang sama, tapi tetap bisa tumbuh dan menguatkan.

Fatimah mulai mengambil peran lebih besar: membersamai ayahnya, menyiapkan keperluan-keperluan Rasul, dan sesekali membantu urusan dakwah di balik layar. Ia tidak banyak bicara, tapi setiap geraknya mengandung makna. Ia tumbuh menjadi remaja yang matang sebelum waktunya. Kehilangan menjadikannya peka, dan iman menjadikannya kuat.

Meski Saudah mengasuhnya dengan penuh kasih, Fatimah tetap menjaga jarak hormat. Ia tetap menjadi pribadi yang mandiri, tak banyak bergantung. Di setiap sujudnya, ia kirimkan rindu untuk Khadijah, ibunya yang telah pergi, tapi tak pernah benar-benar hilang dari ingatannya.

Dan dari hari ke hari, Fatimah semakin menunjukkan bahwa darah Khadijah memang mengalir deras di nadinya, dalam keteguhan, ketulusan, dan dalam diam yang penuh makna.

4. Ummu Abiha: Ibu Bagi Ayahnya

Fatimah tidak hanya dikenal sebagai anak perempuan Rasulullah ﷺ. Ia dijuluki dengan gelar paling unik dan menyentuh: “Ummu Abiha”, yang artinya “ibu bagi ayahnya”.

Julukan ini bukan tanpa alasan. Sejak ibunya, Khadijah, wafat, Fatimah tidak hanya berperan sebagai anak, tapi juga penghibur dan pelipur lara bagi Nabi. Ia menjadi sosok yang selalu ada di sisi Rasul, di rumah, dalam perjalanan, bahkan di medan kesedihan.

Setiap kali Nabi kembali dari medan dakwah dengan luka di tubuhnya akibat siksaan atau lemparan batu, Fatimah akan menyambut beliau, mencuci luka itu, dan menangis dalam diam. Ia tak bisa menghentikan kekerasan yang dialami ayahnya, tapi ia selalu siap menjadi sandaran dan pereda lelah.

Salah satu momen paling menggetarkan terjadi ketika Rasulullah ﷺ kembali dari masjid setelah ditindih kotoran unta oleh kaum Quraisy saat sedang sujud. Fatimah, yang saat itu masih sangat muda, berlari, membersihkan punggung ayahnya, dan menangis dengan wajah penuh amarah dan duka. Tapi Rasul hanya tersenyum dan berkata dengan lembut agar ia bersabar.

Dalam dunia yang seakan memusuhi ayahnya, Fatimah adalah tempat pulang yang tidak pernah mengecewakan. Ia melayani dengan cinta, menjaga dengan diam, dan menyemangati dengan tatapan yang dalam. Cinta mereka tidak seperti cinta ayah dan anak biasa, itu adalah cinta dua ruh yang saling menopang dalam badai perjuangan.

Maka wajar jika Nabi ﷺ bersabda,

"Fatimah adalah bagian dariku. Barang siapa menyakitinya, maka ia telah menyakitiku." (HR. Bukhari & Muslim)

Dan ketika Rasulullah ﷺ wafat, Fatimah hanya bertahan hidup enam bulan setelahnya. Seolah hatinya sudah tak kuat hidup tanpa pelindung jiwanya. Ia menyusul ayahnya dalam keadaan rindu yang telah penuh.

5. Pernikahan Fatimah dan Ali: Sederhana, Tapi Penuh Cahaya

Di usia yang masih muda, sekitar 18 tahun, Fatimah telah tumbuh menjadi gadis yang dewasa dalam iman dan kematangan jiwa. Banyak sahabat mulia yang datang meminangnya, seperti Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Namun Rasulullah ﷺ tidak memberikan jawaban. Hati beliau seolah menanti seseorang, dan sosok itu adalah Ali bin Abi Thalib, sepupu kesayangan Nabi yang sejak kecil diasuh dan dibimbing langsung olehnya.

Ali datang dengan penuh kerendahan hati. Ia tahu dirinya tak punya harta, tak punya rumah, hanya keberanian dan iman yang ia genggam. Namun Rasulullah ﷺ menerima lamarannya, bukan karena dunia, tapi karena Ali adalah lelaki yang pantas untuk Fatimah, sepadan dalam iman, seiring dalam perjuangan.

Pernikahan mereka sangat sederhana. Mahar yang diberikan Ali adalah baju besi miliknya. Rasulullah ﷺ tidak meminta pesta besar, tidak memaksakan penampilan mewah. Sebab yang dimuliakan bukan harta, tapi keberkahan rumah tangga.

Fatimah dan Ali memulai kehidupan mereka di sebuah rumah kecil yang sangat sederhana. Tidak ada kasur empuk, tidak ada perabot mewah. Kadang mereka tidur di atas tikar pelepah kurma, makan dengan roti kering dan air, dan berhari-hari tanpa minyak untuk pelita. Tapi mereka punya sesuatu yang lebih dari semua itu: cinta yang dilandasi iman dan ridha Allah.

Ali bekerja keras, menggali sumur dan mengangkat air. Fatimah menumbuk gandum, memasak, dan membersihkan rumah dengan tangan sendiri. Kadang tangan Fatimah melepuh karena alat penggiling, dan tubuhnya lelah karena pekerjaan rumah yang berat. Ia pernah meminta pembantu kepada Nabi ﷺ, namun Rasul mengajarkan sesuatu yang jauh lebih berharga:

"Maukah aku ajarkan sesuatu yang lebih baik dari pembantu? Bacalah Subhanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, dan Allahu Akbar 34 kali sebelum tidur." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam kesederhanaan itu, mereka menjadi pasangan yang saling menguatkan. Ali mencintai Fatimah bukan karena statusnya sebagai putri Nabi, tapi karena jiwanya. Dan Fatimah mencintai Ali bukan karena rupa atau harta, tapi karena keteguhan iman dan kasih sayangnya.

Dari pernikahan ini lahirlah keturunan yang kelak menjadi penerus nasab Rasulullah ﷺ, yaitu Hasan dan Husain, serta dua putri: Zainab dan Ummu Kultsum.

6. Di Balik Pintu Rumah Kecil Itu: Fatimah sebagai Ibu, Ali sebagai Ayah, Nabi sebagai Kakek

Di balik pintu rumah kecil Fatimah dan Ali, hidup sebuah keluarga yang tidak hanya mencintai, tapi saling menumbuhkan. Meski hidup dalam kesederhanaan, rumah itu menjadi tempat lahirnya cahaya, tempat cinta dan iman saling menyelimuti dengan utuh.

Fatimah bukan hanya putri Nabi, bukan hanya istri Ali. Ia juga seorang ibu dari anak-anak yang kelak dikenang dunia: Hasan dan Husain, dua pemuda penghulu surga. Sejak mereka lahir, Fatimah mengasuh dengan penuh kasih, tidak dengan tangan lembut saja, tapi dengan jiwa yang kuat. Ia tidak hanya menyuapi, tapi juga mendidik. Ia tak hanya menidurkan, tapi juga mendoakan.

Fatimah selalu menempatkan anak-anaknya dalam dekapan doa. Bahkan dalam lelah, ia tak pernah absen menyebut nama mereka dalam sujud dan istighfar. Ia tak mengajarkan kekuasaan, tapi mengajarkan ketundukan. Ia tak mewariskan kemewahan, tapi membentuk karakter yang kokoh dalam iman.

Sementara Ali, adalah ayah yang hangat sekaligus pelindung. Ia tidak hanya bekerja untuk keluarganya, tapi hadir untuk mereka. Dalam riwayat, Ali sering terlihat bermain dengan Hasan dan Husain, mendudukkan mereka di pundaknya, dan bercanda dengan cara yang lembut tapi tetap mendidik. Ia menanamkan keberanian, namun membalutnya dengan kasih sayang.

Dan Rasulullah ﷺ, adalah kakek yang luar biasa. Hubungan beliau dengan Hasan dan Husain bukan sekadar kakek dan cucu, tapi seperti sahabat kecil yang saling mencintai. Nabi sering memangku mereka saat khutbah, bahkan menghentikan salatnya jika salah satu cucunya naik ke punggungnya.

"Hasan dan Husain adalah dua pemuda penghulu surga." sabda Nabi. (HR. Tirmidzi)

Rasul juga tak segan mencium mereka di depan para sahabat, menepis budaya keras yang menganggap lelaki tak boleh menunjukkan kelembutan. Ketika ada sahabat yang berkata, "Aku punya sepuluh anak dan tak pernah mencium satu pun," Nabi menjawab,

"Siapa yang tidak menyayangi, tidak akan disayangi." (HR. Bukhari)

Rumah kecil Fatimah adalah rumah surga. Di sana tidak selalu ada makanan mewah, tapi selalu ada cinta yang ditata oleh iman. Tidak ada karpet Persia, tapi ada lantai yang sering tersentuh dahi sujud. Anak-anak tumbuh bukan dengan kekayaan dunia, tapi dengan pelukan orang tua yang lurus akidahnya.

Fatimah, Ali, dan Rasulullah ﷺ mengajarkan kita: keluarga bukan tentang apa yang kamu miliki, tapi tentang siapa yang kamu cintai, dan bagaimana kamu mencintai mereka, dengan cara yang Allah ridai.

7. Ketika Dunia Kehilangan Cahaya: Wafatnya Nabi dan Fatimah

Hari itu, Madinah seperti kehilangan langitnya. Rasulullah ﷺ wafat, dan dunia seperti berhenti berputar. Tangis menggema di rumah para sahabat, tetapi tidak ada yang lebih hancur selain hati Fatimah.

Ia masuk ke kamar tempat ayahnya terbaring diam, tanpa suara, tanpa senyum yang biasa menyambutnya. Wajah Nabi tampak damai, tapi Fatimah tahu, perjalanan dunia ini sudah selesai bagi ayahnya. Ia menatap tubuh itu lama, kemudian berbisik lir ih,

"Wahai Ayah, engkau telah menjawab panggilan Tuhan yang tak bisa ditolak." Kemudian ia menangis, pelan tapi dalam, seolah seluruh isi jiwanya runtuh.

Fatimah, yang sejak kecil tak pernah jauh dari Rasul, kini harus belajar hidup tanpanya. Tapi ia tak benar-benar kuat. Enam bulan setelah wafatnya Nabi, Fatimah jatuh sakit. Sebagian ulama menyebut, sakit itu lebih karena patah hati dibandingkan penyakit fisik. Ia terlalu rindu, terlalu berat menahan luka kehilangan.

Setiap hari tubuhnya semakin lemah. Tapi ia tidak pernah mengeluh. Ia habiskan hari-harinya bersama anak-anaknya yang masih kecil, Hasan dan Husain, juga kedua putrinya, Zainab dan Ummu Kultsum. Ia peluk mereka seerat mungkin, seolah ingin meninggalkan seluruh cintanya dalam ingatan anak-anak yang belum benar-benar mengerti bahwa ibunya sedang bersiap pergi.

Dalam detik-detik terakhir hidupnya, Fatimah berpesan kepada Ali agar ia dimakamkan di malam hari, dengan tenang dan sederhana. Ia tidak ingin tubuhnya dilihat banyak orang, bahkan dalam kematian, ia tetap menjaga kehormatan dirinya sebagai perempuan mulia.

Ali, dengan dada yang sesak dan mata yang sembab, memenuhi permintaan istrinya. Ia menggali makam Fatimah dengan tangannya sendiri, memakamkannya dalam keheningan malam yang syahdu. Tak ada suara, hanya doa dan air mata.

Fatimah wafat pada usia sekitar 24 tahun. Meninggalkan suami yang mencintainya sepenuh hati, dan anak-anak yang masih kecil, yang baru akan tumbuh mengenal dunia tanpa pelukan ibunya. Tapi ia juga meninggalkan warisan yang jauh lebih besar dari itu: keteladanan sebagai anak, istri, ibu, dan perempuan mukminah sejati.

Fatimah telah pergi, tapi jejaknya tak pernah hilang. Ia tetap hidup dalam doa setiap perempuan yang ingin menjadi kuat dan lembut sekaligus. Ia hidup dalam pelukan para ibu yang sabar. Ia hidup dalam keberanian para istri yang berjuang bersama suami. Dan ia tetap hidup dalam hati setiap anak yang merindukan surga, tempat di mana Fatimah kini telah kembali, bersama ayahnya, kekasih Allah.

Referensi Tulisan

  1. Al-Qur’anul Karim

    • Surat Al-Ahzab: 33 (tentang Ahlul Bait)

    • Surat Maryam: 96 (tentang kecintaan Allah pada orang beriman)

  2. Shahih Bukhari & Shahih Muslim

    • Hadis tentang Fatimah bagian dari Rasulullah ﷺ:  "Fatimah adalah bagian dariku. Barang siapa menyakitinya, maka ia telah menyakitiku." (HR. Bukhari, no. 3767 dan Muslim, no. 2449)

    • Hadis tentang bacaan sebelum tidur (tasbih Fatimah):
      (HR. Bukhari, no. 3705 dan Muslim, no. 2727)

    • Hadis tentang Hasan dan Husain sebagai penghulu pemuda surga:
      (HR. Tirmidzi, no. 3768,  Shahih)

  3. Kitab Sirah Nabawiyah  Ibnu Hisyam

    • Biografi Rasulullah ﷺ, keluarga beliau, termasuk pernikahan Fatimah dan Ali

  4. Kitab Al-Bidayah wa An-Nihayah   Ibnu Katsir

    • Riwayat wafatnya Fatimah dan hubungannya dengan Rasulullah ﷺ

  5. Siyar A’lam An-Nubala’  Imam Adz-Dzahabi

    • Profil tokoh-tokoh besar Islam termasuk Fatimah az-Zahra

  6. Buku "Fatimah Az-Zahra: Putri Rasulullah yang Dijamin Surga"   Abdul Mun’im Al-Hashimi

    • Penerbit: Pustaka Al-Kautsar, Jakarta

  7. Website dan Ensiklopedia Islam


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sepasang Tangan yang Tidak Pernah Lelah: Kisah Cinta, Kejujuran, dan Pengorbanan Seorang Ibu

"Sayyidah Khadijah: Cinta, Keteguhan, dan Inspirasi untuk Perempuan Zaman Sekarang"

Tentang saya