Kisah Nabi Syuaib dalam Al-Qur’an dan Pelajarannya untuk Zaman Sekarang

 


Bayangkan sebuah kota makmur. Pasarnya ramai, perdagangan hidup, orang-orangnya seolah penuh gairah. Tapi di balik keramaian itu, ada sesuatu yang busuk: kecurangan dalam timbangan, manipulasi harga, penipuan yang dianggap lumrah. Seolah-olah keberhasilan bisa dibeli dengan menindas orang lain.

Inilah gambaran kaum Madyan, tempat Nabi Syuaib alaihis salam diutus. Allah mengangkatnya sebagai rasul untuk meluruskan bangsa yang sedang tenggelam dalam praktik ekonomi yang curang. Mereka dikenal lihai berdagang, tapi sayang kejujuran tak lagi jadi mata uang utama.

Syuaib pun berdiri, menyeru dengan suara yang penuh keyakinan:

Dan Syu‘aib berkata: Wahai kaumku, sembahlah Allah, tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan...” (QS. Hud: 84)

Pesannya sederhana tapi menghantam jantung: jangan curangi timbangan. Jangan manipulasi. Jangan jadikan keuntungan sebagai Tuhan.

Namun, reaksi kaumnya jauh dari lembut. Mereka mengejek: “Hai Syuaib, apakah shalatmu yang menyuruhmu agar kami tinggalkan apa yang dilakukan oleh bapak-bapak kami, atau agar kami tidak bebas mempergunakan harta kami sesuka hati?” (QS. Hud: 87).

Buat mereka, Syuaib adalah pengganggu bisnis, perusak tradisi. Bahkan ada ancaman: kalau bukan karena keluargamu, Syuaib, pasti sudah kami usir. Tapi Syuaib tetap teguh. Ia tidak menawarkan sistem ekonomi baru yang rumit, hanya mengembalikan esensi: kejujuran dan keadilan.

Dari Pasar Madyan ke Pasar Modern

Kalau kita tarik ke zaman sekarang, rasanya kita sedang bercermin. Bedanya, dulu orang menaruh batu lebih sedikit di timbangan. Sekarang, bentuknya bisa lebih modern:

1. Manipulasi laporan keuangan.

2. Skandal korupsi anggaran.

3. Praktik monopoli pasar.

4. Penipuan digital dengan iklan palsu.

Bukankah ini versi baru dari kecurangan kaum Madyan?

Padahal, prinsip yang ditekankan Nabi Syuaib tetap sama relevannya: jangan rakus, jangan ambil hak orang lain, jangan hancurkan kepercayaan publik hanya demi keuntungan sesaat. Allah bahkan memberi janji yang menenangkan:

Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.” (QS. Asy-Syu‘ara: 183)

Kerusakan itu bukan hanya fisik, tapi juga sosial. Saat keadilan ekonomi rusak, yang miskin makin tertindas, yang kaya makin tamak, masyarakat jadi rapuh.

Keberanian Menjadi “Suara yang Sepi”

Hal yang juga menarik dari Nabi Syuaib adalah keberaniannya untuk bersuara meski minoritas. Di tengah mayoritas yang menolak, Syuaib tetap konsisten. Ia sadar, kebenaran bukan soal jumlah pengikut, tapi soal keberanian menyampaikan amanah.

Ini juga pelajaran buat kita hari ini. Kadang kita takut bicara jujur di kantor, di organisasi, atau bahkan di lingkaran pertemanan, karena takut “berbeda” atau dianggap aneh. Nabi Syuaib memberi teladan: integritas itu mahal, dan memang harus diperjuangkan.

Pelajaran untuk Kita

Dari kisah Nabi Syuaib, ada beberapa nilai yang bisa kita ambil untuk zaman modern:

1. Integritas lebih mahal dari keuntungan sesaat. Dalam bisnis, politik, atau pekerjaan apapun, kejujuran akan menjadi fondasi yang membuat segalanya bertahan lama.

2. Ekonomi yang adil adalah ibadah. Jujur dalam timbangan, transparan dalam laporan, amanah dalam jabatan semuanya bagian dari ibadah.

3. Berani melawan arus. Jangan takut jadi minoritas dalam memperjuangkan kebenaran.

4. Kerusakan ekonomi = kerusakan sosial. Jika hak-hak orang kecil dirampas, jika ketidakadilan dibiarkan, cepat atau lambat, peradaban akan runtuh seperti kaum Madyan.

Penutup

Kaum Nabi Syuaib akhirnya binasa karena kesombongan dan penolakannya pada kebenaran. Sementara nama Syuaib tetap harum sebagai rasul yang memperjuangkan keadilan ekonomi.

Di zaman kita yang penuh transaksi digital, pasar global, dan sistem keuangan canggih, pesan Syuaib terasa seperti alarm yang berbunyi dari masa lalu: keadilan tidak boleh dilupakan, sekecil apapun timbangannya.

Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan. Timbanglah dengan timbangan yang lurus.” (QS. Asy-Syu‘ara: 181–182)

Jika hari ini kita jujur dalam setiap transaksi, adil dalam setiap keputusan, maka kita bukan hanya menjaga keberkahan rezeki, tapi juga melanjutkan perjuangan seorang nabi yang jarang disorot, tapi pesan moralnya abadi sepanjang zaman.

Wallahu'alam.

-Yoen Asmi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sepasang Tangan yang Tidak Pernah Lelah: Kisah Cinta, Kejujuran, dan Pengorbanan Seorang Ibu

"Sayyidah Khadijah: Cinta, Keteguhan, dan Inspirasi untuk Perempuan Zaman Sekarang"

Tentang saya