Palestina dan Persia: Sejarah Bukan Nostalgia Tapi Kompas
Kita hidup di zaman paling semangat buat komen dan repost apa pun yang viral. Tapi paling malas ngulik sejarah sendiri. Kita hafal trending topik hari ini, tapi lupa kalau Gaza dulu tempat para sahabat sujud dan berjuang. Kita kenal Iran dari berita politik, tapi tidak banyak yang tahu kalau Persia dulu justru ikut membesarkan peradaban Islam.
Hari ini, Palestina dihantam senjata.
Iran dihantam stigma.
Dan kita? Hanya menonton dari layar, dan tentunya bantu dengan do'a.
Tahun 637 Masehi, Umar bin Khattab datang ke Yerusalem. Tapi bukan sebagai penakluk sombong, melainkan sebagai pemimpin sederhana. Ia datang tanpa kuda perang, tanpa mahkota emas, hanya dengan baju debu dan sepasang sandal. Bahkan, pemimpin Romawi di sana menyambutnya dengan hormat, karena tahu bahwa Umar datang membawa keadilan, bukan penjajahan.
Masjid Al-Aqsha menjadi saksi, bukan darah yang mengalir, tapi air mata rindu para sahabat yang akhirnya bisa sujud di tanah para nabi.
Tapi hari ini, Al-Aqsha diserbu, Gaza dibakar, dan anak-anak Palestina tumbuh tanpa tahu seperti apa wajah damai itu sendiri.
Dan umat Islam? Terpecah. Ada yang bersuara, ada yang sibuk klarifikasi, ada yang scroll-scoll dan lewat begitu saja.
Padahal Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa yang tidak peduli terhadap urusan kaum Muslimin, maka ia bukan termasuk golongan mereka.” (HR. Thabrani, sanad hasan)
Di sisi lain, ada Persia. Dulu, negeri adidaya. Kekaisaran Sasaniyah begitu besar, kaya, dan angkuh. Sampai akhirnya datang pasukan kecil, dipimpin oleh Sa’ad bin Abi Waqqash, dalam perang Qadisiyyah. Jumlah tak seimbang, kekuatan tak sebanding. Tapi keyakinan mengalahkan kejumawaan.
Tahun 636 M, Persia runtuh. Tapi bukan karena diserbu secara barbar, melainkan karena rakyatnya melihat keadilan Islam. Islam diterima, dan dari Persia lahir ilmuwan besar seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, dan Al-Khawarizmi, nama-nama yang hari ini dijadikan nama planet oleh ilmuwan Barat.
Tahun 1979, revolusi Iran mengguncang dunia. Dari negara mayoritas Sunni menjadi pusat ideologi Syiah. Dari pusat ilmu jadi pusat konflik. Dan sejak saat itu, Iran bukan sekadar negeri, tapi simbol perdebatan. Simbol siapa yang "lebih benar", bukan siapa yang lebih bertakwa.
Sunni-Syiah menjadi medan perang yang tak lagi soal akidah, tapi ego dan politik. Dan umat? Lagi-lagi hanya jadi penonton, atau korban propaganda.
Palestina dijajah fisik. Iran terjerat ideologi. Dan umat Islam, terjajah akhlaknya. Dulu, Islam menang karena akhlak para sahabat. Karena kejujuran dalam perang, adil dalam kekuasaan, lembut pada rakyat.
Sekarang? Kita ribut soal siapa yang paling islami, tapi lupa bagaimana Islam menaklukkan dunia lewat teladan.
Kita hapal kisah Qadisiyyah, tapi tak meneladani Sa’ad bin Abi Waqqash.
Kita tahu Al-Aqsha, tapi lebih hafal tanggal konser daripada tanggal penyerbuan Israel terakhir.
Palestina dan Persia bukan sekadar tanah.Mereka adalah pelajaran.Satu tentang keteguhan. Satu tentang perubahan arah. Umat ini tak kekurangan ilmu.Yang kurang adalah jiwa. Kita tak butuh sekadar tahu sejarah. Kita butuh menyambung ruh perjuangan yang dulu dimiliki Umar dan para sahabatnya.
Dan itu tak bisa dimulai dari pidato panjang. Cukup dari satu hati yang kembali jujur.Satu jiwa yang kembali sadar. Bahwa kita adalah umat yang seharusnya berdiri tegak di atas sejarah, bukan jadi pengungsi dalam kebingungan.
Disclaimer:
Tulisan ini bukan untuk menggurui atau menyalahkan siapapun, hanya untuk sama-sama menengok sejarah, agar kita tidak kehilangan arah.
Terima kasih sudah membaca.

Komentar
Posting Komentar