Poligami dan Kesetiaan: Saat Rasa Sayang Bukan Lagi Abadi


Apakah kesetiaan itu sebuah janji suci yang tak tergoyahkan, atau hanya ilusi yang rapuh di hadapan gejolak emosi manusia? Pertanyaan ini selalu muncul ketika kita bicara tentang poligami. Sebagian orang melihat poligami sebagai persoalan agama, budaya, atau bahkan strategi hidup. Namun, jika ditarik ke ranah psikologi, kita akan menemukan fakta menarik: ternyata rasa sayang manusia tidak pernah statis.

Psikologi menjelaskan bahwa emosi dasar seperti cinta, kasih sayang, dan keterikatan memang bisa berubah. Teori cinta dari Robert Sternberg menyebut bahwa cinta memiliki tiga komponen: gairah, keintiman, dan komitmen. Kombinasi ketiganya bisa naik-turun seiring waktu. Rasa sayang yang dulu menggebu bisa meredup, sementara kehangatan baru bisa tumbuh dari pertemuan tak terduga.

Ada sebab-akibat yang jelas di baliknya. Secara biologis, hormon dopamin membuat kita bersemangat saat jatuh cinta, sementara oksitosin menciptakan ikatan keintiman. Tetapi, jika kebutuhan emosional tidak terpenuhi dalam sebuah hubungan, maka hati cenderung mencari “ruang baru” untuk menyalurkan kebutuhan itu.

Di sinilah muncul potensi poligami: sebuah jalan yang dipilih sebagian orang ketika rasa sayang lama terasa berkurang, namun hati menemukan denyut baru.

Tentu saja, poligami bukan tanpa risiko. Dari sisi psikologi, ia memicu kecemburuan, rasa tidak aman, hingga kompetisi emosional antar pasangan. Perempuan sering mengalami luka batin lebih dalam karena harus berbagi perhatian yang dulunya utuh.

Pada titik ini, kesetiaan diuji: apakah ia sebatas rasa nyaman, atau benar-benar komitmen sadar untuk tetap bertahan meski hati bergejolak?

Kesetiaan, ternyata, bukanlah emosi alami. Ia adalah pilihan kognitif hasil dari kesadaran, bukan sekadar getaran hati. Hati bisa berpindah, rasa sayang bisa berganti, tetapi kesetiaan menuntut logika untuk berkata: “Aku tetap memilihmu.”

Maka, ketika kita membicarakan poligami dan kesetiaan, kita tidak hanya bicara tentang hukum atau norma, melainkan tentang manusia sebagai makhluk emosional sekaligus rasional. Bahwa cinta bisa hilang, sayang bisa tumbuh pada yang baru, tetapi kesetiaan selalu kembali pada satu hal: seberapa kuat kita memilih untuk tetap tinggal.

Wallahu’alam

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sepasang Tangan yang Tidak Pernah Lelah: Kisah Cinta, Kejujuran, dan Pengorbanan Seorang Ibu

"Sayyidah Khadijah: Cinta, Keteguhan, dan Inspirasi untuk Perempuan Zaman Sekarang"

Tentang saya