"Aku mencintai-Mu dengan dua cinta: cinta karena diriku, dan cinta karena diri-Mu.
Cinta karena diriku membuatku selalu mengingat-Mu,
sedang cinta karena diri-Mu, membuatku melihat-Mu apa pun adanya.
Tiada pujian bagiku dalam cinta yang pertama,
namun bagi-Mu segala pujian dalam cinta yang kedua.”
 - Rabiah al-Adawiyah (diriwayatkan dalam Abu Thalib al-Makki, Qut al-Qulub)
Puisi ini bukan sekadar rangkaian kata, tapi letupan hati seorang perempuan sufi yang membakar sejarah. Dialah Rabiah al-Adawiyah, seorang perempuan sederhana dari Basra, Irak, yang hidup pada abad ke-8 M. Dari lorong kemiskinan dan kesepian, Rabiah menjelma menjadi simbol cinta Ilahi yang murni.
Filosofi Cinta Rabiah
Cinta bagi Rabiah bukan sekadar rasa, melainkan pengabdian. Ia menolak konsep ibadah yang dilandasi rasa takut akan neraka atau keinginan akan surga. Baginya, cinta yang sejati adalah cinta yang murni tanpa syarat.
Simbol paling terkenal adalah saat ia membawa obor dan air. Obor untuk membakar surga, air untuk memadamkan neraka. Tindakan simbolis itu adalah kritik halus kepada manusia yang sering menukar ibadah dengan keuntungan. Rabiah ingin mengajarkan:
📌Jangan sembah Allah karena takut dihukum.
📌Jangan sembah Allah karena berharap imbalan.
📌Sembahlah Allah karena Dia memang layak dicintai.
Filosofi ini membuat Rabiah berbeda dari banyak tokoh lainnya. Ia meletakkan cinta Ilahi sebagai pusat kehidupan, bukan sekadar tujuan akhir.
Inspirasi untuk Zaman Sekarang
Jika kita menengok kehidupan hari ini, banyak orang yang menjalani spiritualitas dengan pola “transaksi”: berdoa supaya cepat kaya, ibadah supaya panjang umur, atau berbuat baik supaya dimudahkan rezeki. Tidak salah memang, tapi Rabiah mengingatkan ada tingkat yang lebih tinggi: ibadah tanpa pamrih.
Bayangkan jika dalam hubungan manusia saja kita tidak nyaman dicintai karena harta atau status, bagaimana mungkin kita mencintai Allah hanya karena surga? Rabiah memberi inspirasi agar kita belajar tulus: bekerja, berdoa, beribadah bukan karena hitungan untung-rugi, tetapi karena cinta itu sendiri.
Pesannya relevan untuk zaman modern, ketika banyak orang merasa hampa meski materi berlimpah. Rabiah menunjukkan bahwa kedalaman hati dan hubungan dengan Allah bisa menjadi sumber ketenangan yang tak tergoyahkan.
Rabiah al-Adawiyah bukanlah perempuan dengan tahta, bukan pula ahli filsafat yang menulis ribuan halaman. Ia hanya seorang perempuan miskin yang hatinya terbakar oleh cinta Ilahi. Namun, justru dari kesederhanaan itulah lahir sebuah ajaran yang melampaui zaman.
Dari Rabiah kita belajar, bahwa cinta sejati adalah ketulusan tanpa syarat. Seperti obor yang menyala tanpa meminta balasan, seperti air yang mengalir tanpa menuntut pujian.
Di tengah dunia yang penuh transaksi, cinta Rabiah menjadi pengingat: ada ruang dalam hati yang seharusnya hanya diisi oleh Allah, bukan karena apa pun, melainkan karena Dia memang layak dicintai.
Wallahu'alam
 
Komentar
Posting Komentar